Teknologi reproduksi kini telah menembus berbagai metode canggih untuk menolong pasangan yang kesulitan mendapatkan keturunan. Gebrakan pertama terjadi saat metode "bayi tabung" pertama melahirkan Louise Brown asal Inggris pada 1978. Setelah itu, banyak teknik lain yang lebih mengagumkan berturut-turut ditemukan, termasuk metode penyuntikan satu sperma terhadap satu sel telur secara in vitro.
Setelah menunggu delapan tahun, akhirnya Rina (nama samaran) berhasil melahirkan seorang bayi mungil berkat bantuan teknologi rekayasa reproduksi in vitro atau lebih populer disebut "bayi tabung".
Ia bahagia sekali saat diberi tahu dirinya berhasil mengandung. Semula suaminya sempat putus asa karena hasil laboratorium menunjukkan, pada cairan maninya tidak ditemukan sperma. Namun, berkat kecanggihan teknologi reproduksi, pasangan ini berhasil menimang bayi laki-laki sehat melalui penyuntikan sel mani suami ke sel telur istrinya secara in vitro.
Seorang wanita Inggris bahkan mengalami kasus yang lebih unik. Suaminya dinyatakan menderita kanker pada testisnya dan organ ini harus dibuang. Padahal, keduanya sangat ingin mendapatkan keturunan. Betapa cemasnya mereka, sebab lima tahun sebelumnya, testis yang satu sudah dibuang karena penyakit yang sama. Karena tak sempat mengekstraksi sperma menjelang operasi kedua, maka testis yang sudah dipotong segera dikirim ke klinik pelayanan fertilitas di Aldridge untuk diambil spermanya dan dibekukan.
Berkat teknik yang sama, akhir Juni lalu wanita itu dikabarkan berhasil mengandung. Calon bayinya bahkan diduga kembar. Kebahagiaan bertambah ketika suaminya dinyatakan sembuh dari kanker.
Dengan semakin meningkatnya jumlah pasangan tidak subur pada 30 tahun terakhir, khususnya di negara-negara industri, para ahli di negara-negara seperti Amerika, Inggris, dan Australia, terus mencari teknik yang dapat membantu pasangan tak subur. Jumlah kasus pasangan tak subur diperkirakan sekitar 15% di dunia maupun di Indonesia.
Penyebab infertilitas bermacam-macam, bisa akibat tersumbatnya saluran sel telur pada istri (35%), masalah antibodi, lendir mulut rahim tidak normal, endometriosis, problem sperma suami, dll.
20 tahun teknik bayi tabung
Teknik bayi tabung sempat mencatat keberhasilan luar biasa dan menggemparkan dunia. Metode yang diprakarsai sejumlah dokter Inggris ini berhasil menghadirkan bayi perempuan bernama Louise Brown pada 1978. Sebelum itu, untuk menolong pasangan suami-istri tak subur digunakan teknik inseminasi buatan, yakni penyemprotan sejumlah cairan semen suami ke dalam rahim dengan bantuan alat suntik. Dengan cara ini diharapkan sperma lebih mudah bertemu dengan sel telur. Sayang, tingkat keberhasilannya hanya 15%.
Pada teknik in vitro yang melahirkan Brown, pertama-tama dilakukan perangsangan indung telur sang istri dengan obat khusus untuk menumbuhkan lebih dari satu sel telur. Perangsangan berlangsung 5 - 6 minggu sampai sel telur dianggap cukup matang dan sudah saatnya "dipanen". Selanjutnya, folikel atau gelembung sel telur diambil tanpa operasi, melainkan dengan tuntunan alat ultrasonografi transvaginal (melalui vagina).
Sementara semua sel telur yang berhasil diangkat dieramkan dalam inkubator, air mani suami dikeluarkan dengan cara masturbasi, dibersihkan, kemudian diambil sekitar 50.000 - 100.000 sperma. Sperma itu ditebarkan di sekitar sel telur dalam sebuah wadah khusus. Sel telur yang terbuahi normal, ditandai dengan adanya dua sel inti, segera membelah menjadi embrio. Sampai dengan hari ketiga, maksimal empat embrio yang sudah berkembang ditanamkan ke rahim istri. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan hormon Beta-HCG dan urine untuk meyakinkan bahwa kehamilan memang terjadi.
Sejak kelahiran Louise Brown, teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF) semakin populer saja di dunia. Di Indonesia, IVF pertama kali diterapkan di Rumah Sakit Anak-Ibu (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, pada 1987. Teknik yang kini disebut IVF konvensional itu berhasil melahirkan bayi tabung pertama, Nugroho Karyanto, pada 2 Mei 1988. Setelah itu lahir sekitar 300 "adik" Nugroho, di antaranya dua kelahiran kembar empat.
Semakin canggih saja
Sukses besar teknik IVF konvensional ternyata masih belum memuaskan dunia kedokteran, apalagi kalau mutu dan jumlah sperma yang hendak digunakan kurang. Maka dikembangkanlah teknik lain seperti PZD (Partial Zona Dessection) dan SUZI (Subzonal Sperm Intersection). Pada teknik PZD, sperma disemprotkan ke sel telur setelah dinding sel telur dibuat celah untuk mempermudah kontak sperma dengan sel telur. Sedangkan pada SUZI sperma disuntikkan langsung ke dalam sel telur. Namun, teknik pembuahan mikromanipulasi di luar tubuh ini pun masih dianggap kurang memuaskan hasilnya.
Sekitar lima tahun lalu Belgia membuat gebrakan lain yang disebut ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection). Teknik canggih ini ternyata sangat tepat diterapkan pada kasus mutu dan jumlah sperma yang minim. Kalau pada IVF konvensional diperlukan 50.000 - 100.000 sperma untuk membuahi sel telur, pada ICSI hanya dibutuhkan satu sperma dengan kualitas nomor wahid. Melalui pipet khusus, sperma disuntikkan ke dalam satu sel telur yang juga dinilai bagus. Langkah selanjutnya mengikuti cara IVF konvensional. Pada teknik ini jumlah embrio yang ditanamkan cuma 1 - 3 embrio. Setelah embrio berhasil ditanamkan dalam rahim, si calon ibu tinggal di rumah sakit selama satu malam.
Di Indonesia, menurut dr. Subyanto DSOG dan dr. Muchsin Jaffar DSPK, tim unit infertilitas MELATI-RSAB Harapan Kita, ICSI sudah diterapkan sejak 1995 dan berhasil melahirkan anak yang pertama pada Mei 1996. Dengan teknik ini keberhasilan bayi tabung meningkat menjadi 30 - 40%, terutama pada pasangan usia subur.
Berdasarkan pengalaman, menurut dr. Muchsin, peluang terjadinya embrio pada teknologi bayi tabung sekitar 90%, di antaranya 30 - 40% berhasil hamil. Namun, dari jumlah itu, 20 - 25% mengalami keguguran. Sedangkan wanita usia 40-an yang berhasil melahirkan dengan teknik in vitro hanya 6%. Karena rendahnya tingkat keberhasilan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan pasien, teknik ini tidak dianjurkan untuk wanita berusia 40-an.
Pasangan yang masuk program MELATI tidak harus mengikuti program IVF. Teknik ini hanya ditawarkan kalau setelah diusahakan dengan cara lain, tidak berhasil. Sebelum mengikuti program ini pun pasutri diminta mengikuti ceramah dan menerima penjelasan semua prosedurnya agar diikuti dengan mantap.
Biaya mengikuti program IVF memang tidak murah. Pada akhir 1980-an biayanya sekitar Rp 5 juta. Kini, berkisar antara Rp 13,5 juta - Rp 18 juta. Harga obat suntik perangsang indung telur saja sudah naik hampir empat kali lipat. Padahal, suntikan yang dibutuhkan selama dua minggu mencapai 45 ampul.
Selain RSAB Harapan Kita, Jakarta, teknik IVF juga sudah diterapkan di FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Surabaya), dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan RS Dr. Sardjito (Yogyakarta).
Kalau sperma kosong
Pada kasus cairan air mani tanpa sperma (azoospermia), mungkin akibat penyumbatan atau gangguan saluran sperma, kini bisa dilakukan pengambilan sperma dengan teknik operasi langsung pada saluran air mani atau testis. Tekniknya ada dua, MESA (Microsurgical Sperm Aspiration) dan TESE (Testicular Sperm Extraction). Pada MESA, sperma diambil dari tempat sperma dimatangkan dan disimpan (epididimis). Sedangkan pada TESE, sperma langsung diambil dari testis yang merupakan pabrik sperma. Setelah sperma diambil, dipilih yang paling baik. Selanjutnya, dilakukan langkah-langkah menurut prosedur ICSI. Teknik ini juga sudah diterapkan di RSAB Harapan Kita sejak 1996 dan telah berhasil melahirkan dua anak.
Seperti di negara lain, sejak 1992 Indonesia sudah melakukan simpan beku embrio. Perangsangan indung telur wanita pada prosedur bayi tabung memungkinkan terbentuknya banyak embrio. Tidak mungkin semua embrio ditransfer ke dalam rahim pada saat bersamaan. Embrio yang untuk sementara tidak digunakan dapat disimpan dengan cara kriopreservasi, yang selanjutnya disimpan dalam tabung berisi cairan nitrogen pada suhu 196oC di bawah nol derajat. Kapasitas tabung sekitar 100 embrio.
Simpan beku embrio ini menghemat biaya karena pasangan tidak perlu lagi mengulang proses pengerjaan dari awal lagi bila embrio berikutnya perlu ditanamkan kembali. Tidak seperti di Barat, embrio ataupun sperma yang tersimpan beku di Indonesia hanya diperuntukkan bagi pasutri yang bersangkutan.
Salah satu contoh keberhasilan teknik penyimpanan embrio bisa ditemukan di Belgia. Baru-baru ini lahir seorang bayi laki-laki sehat hasil penanaman embrio yang sudah dibekukan selama 7,5 tahun dari pasangan lain (anonim). Bayi yang dibantu kelahirannya oleh dr. Michael Vermesh ini beratnya 4 kg. Daya tahan embrio yang dibekukan bisa puluhan tahun dan tetap bisa menjadi bayi sehat.
Teknologi reproduksi in vitro ternyata sangat membantu pasangan yang mengalami gangguan reproduksi. Mengupayakan pasutri agar bisa mempunyai anak sungguh merupakan perbuatan mulia dan membahagiakan, sekalipun pembuahannya dilakukan di laboratorium. Seperti halnya Louise Brown, mungkin banyak anak yang dilahirkan melalui teknik ini ikut bersyukur bahwa kedua orang tuanya mengikuti program itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar