Pada mulanya, Tata Surya hanya berupa sebentuk piringan berisi awan debu dan gas panas, yakni Nebula Matahari. Saat gas di tepi nebula mulai mendingin, material awal mulai berkondensasi menjadi partikel padat yang kaya elemen kalsium dan alumunium. Dan ketika gas kemudian mendingin, material lainnya pun mulai berkondensasi. Partikel padat dari berbagai tipe kemudian mulai menyatu membentuk batuan komet, asteroid, dan juga planet. Tapi, apa yang sesungguhnya terjadi di masa lalu, saat Tata Surya terbentuk? Saat itu belum ada saksi hidup yang bisa menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Namun, bukan berarti pembentukan Tata Surya tidak memiliki saksi sama sekali. Ada banyak saksi yang kemudian bercerita dengan caranya sendiri. Batu-batuan yang jatuh ke Bumi ternyata menyimpan segudang cerita dan informasi dari masa lalu. Satu per satu misteri pun terkuak. Pengamatan dan misi yang dikirimkan membawa pulang cerita masa lalu Tata Surya.
Kali ini, satu cerita kembali terkuak dengan ditemukannya 3 buah asteroid yang sekaligus merupakan 3 objek tertua yang ada di dalam Tata Surya. Bukti tersebut didapatkan dari data pengamatan pada cahaya tampak dan inframerah dengan teleskop di Mauna Kea, Hawaii. Ketiga asteroid kuno tersebut tidak mengalami perubahan berarti semenjak terbentuk sekitar 4.55 miliar tahun lalu, dan mereka pun jauh lebih tua daripada meteorit tertua yang pernah ditemukan di Bumi. Hasil identifikasi terhadap ketiga asteroid ini menunjukkan bahwa ketiganya belum pernah ditemukan sebelumnya, dengan skala waktu pembentukan pada periode awal pembentukan Tata Surya. Karena itu, akan sangat menarik untuk menempatkan ketiga asteroid ini untuk menjadi kandidat misi ruang angkasa di masa depan. Diharapkan, misi tersebut akan dapat mengumpulkan dan membawa pulang contoh dari asteroid tersebut ke Bumi untuk diteliti. Dengan demikian, kita akan dapat memahami lebih jauh proses pembentukan Tata Surya pada beberapa juta tahun pertama.
Bagi para astronom, setidaknya sebagian asteroid tertua yang ada di Tata Surya harus kaya akan kalsium dan alumunium. Namun, sampai saat ini, asteroid dengan kandungan seperti itu belum ditemukan. Meteorit yang ditemukan di Bumi memang mengandung sejumlah kecil materi yang terkondensasi di awal pembentukan. Pada meteorit yang ditemukan, materi kuno berwarna putih terang yang dikenal sebagai calcium, alumunium- rich inclusions (CAIs), dengan diameter sebesar 1 cm. CAIs juga digunakan untuk menentukan umur Tata Surya. Jatuhnya meteorit Allende tahun 1969 menandai revolusi dalam studi Tata Surya dini. Saat itulah, untuk pertama kalinya, para ilmuwan bisa mengenali materi CAIs yang berwarna putih tersebut. Materi yang ditemukan dalam meteorit tersebut sesuai dengan berbagai parameter yang diperkirakan ada pada saat Tata Surya dini berkondensasi.
Sangat menakjubkan, karena ternyata butuh waktu 39 tahun hingga manusia bisa mengumpulkan spektrum objek CAIs. dan ternyata spektrum yang didapat justru membawa kita pada asteroid yang menjadi saksi sejarah pembentukan Tata Surya pada tahap paling awal.
Tim peneliti yang terdiri dari Jessica Sunshine dari Universitas Marryland; Tim McCoy, kurator dari The National Meteorite Collection di Smithsonian’s National Museum of Natural History; Harold Connolly, Jr dari City University, New York; Bobby Bus dari Institute for Astronomy, University of Hawaii; Hilo dan Lauren La Croix dari Smithsonian Institutio, menggunakan instrumen SpeX pada NASA Infrared Telescope Facility di Hawaii untuk mengamati permukaan asteroid sebagai bukti keberadaan sedikit batuan bertemperatur tinggi yang ada pada awal Tata Surya. Secara umum, tim ini mencari jejak spektrum yang mengindikasikan keberadaan CAIs. Namun, karena setiap mineral yang berbeda memiliki warna pantulan yang berbeda, maka spektrum atau warna yang dipantulkan dari permukaan akan dapat mengungkap informasi komposisi pembentuknya untuk dianalisis lebih lanjut.
Perbandingan yang dilakukan antara asteroid yang ditemukan dengan koleksi meteorit dari Smithsonian’s National Museum of Natural History menunjukan kekayaan CAIs pada asteroid yang ditemukan ternyata 2 hingga 3 kali lebih banyak daripada materi di meteorit yang sudah ditemukan. Dengan demikian, bisa disimpulkan jika ternyata asteroid kuno masih ada yang selamat hingga saat ini. Dan kita tahu di mana mereka berada sekarang.
Sumber : EurekaAlert
Minggu, 02 Januari 2011
Proses Terjadinya Pelangi
Pelangi adalah salah satu fenomena optik yang terjadi secara alamiah dalam atmosfir bumi. Dalam fisika, warna-warna lazim diidentifikasikan dari panjang gelombang. Misalnya, warna merah memiliki panjang gelombang sekitar 625 – 740 nm, dan biru sekitar 435 – 500 nm. Kumpulan warna-warna yang dinyatakan dalam panjang gelombang (biasa disimbolkan dengan λ) ini disebut spektrum warna. Warna-warna ini adalah komponen dari cahaya putih yang disebut cahaya tampak (visible light) atau gelombang tampak. Komponen lainnya adalah cahaya yang tidak tampak (invisible light), seperti inframerah (di sebelah kanan warna merah) dan ultraviolet (di sebelah kiri jingga). Sinar putih yang biasa kita lihat (disebut juga cahaya tampak atau visible light) terdiri dari semua komponen warna dalam spektrum di atas – tentu saja ada komponen lain yang tidak terlihat, disebut invisible light.
Alat paling sederhana yang sering dipakai untuk menguraikan warna putih adalah prisma kaca. Sebuah prisma kaca menguraikan cahaya putih yang datang menjadi komponen-komponen cahayanya. Di alam ini tidak hanya prisma yang bisa menguraikan cahaya. Selain itu. tetesan air dari air hujan adalah salah satu contoh benda yang tersedia di alam yang bisa menguraikan cahaya putih. Ketika seberkas cahaya putih mengenai setetes air, tetesan air ini berprilaku seperti prisma. Dia menguraikan sinar putih tadi sehingga terciptalah warna-warna pelangi. Setetes air berprilaku seperti prisma ketika menerima seberkas cahaya putih. Cahaya tersebut sebagian dipantulkan ke arah pengamat, sebagian lagi diteruskan. Warna dalam pelangi seperti blok-blok yang lebar dikarenakan kita hanya melihat satu warna untuk satu tetesan air. Cahaya matahari yang diuraikan oleh tetesan air A hanya sampai ke mata kita pada panjang gelombang warna merah. Sementara itu, tetesan air B memberikan panjang gelombang warna ungu. Tetesan-tetesan air di antaranya memberikan masing-masing satu panjang gelombang pada mata kita. Sehingga pada akhirnya si pengamat melihat pelangi dengan warna yang lengkap.
Kita hanya bisa melihat pelangi maksimal setengah lingkaran. Untuk melihat pelangi utuh satu lingkaran, maka kita harus berdiri di tempat yang lebih tinggi.
Ilustrasi pada gambar diatas memperlihatkan bahwa pelangi berbentuk lingkaran. Ini adalah benar bahwa pelangi berbentuk lingkaran, bukan parabola seperti anggapan beberapa orang. Di tanah, kita hanya melihat maksimal pelangi setengah lingkaran. Kalau kita berdiri di atas hujan, misalnya di pesawat terbang, maka kita bisa melihat pelangi satu lingkaran utuh. Ini semua disebabkan oleh geometri optik dalam proses penguraian warna. Dengan geometri optik ini juga kita bisa menjelaskan garis lurus yang melewati mata kita dan matahari juga melewati titik pusat lingkaran pelangi. Karena pelangi tercipta melibatkan jarak pengamat dengan tetesan air, maka pelangi selalu bergerak mengikuti pergerakan pengamat. Ini membuat jarak kita dengan pelangi konstan (sama), dengan kata lain kita tidak pernah bisa mendekati pelangi.
Sumber dari : Denipratama
Alat paling sederhana yang sering dipakai untuk menguraikan warna putih adalah prisma kaca. Sebuah prisma kaca menguraikan cahaya putih yang datang menjadi komponen-komponen cahayanya. Di alam ini tidak hanya prisma yang bisa menguraikan cahaya. Selain itu. tetesan air dari air hujan adalah salah satu contoh benda yang tersedia di alam yang bisa menguraikan cahaya putih. Ketika seberkas cahaya putih mengenai setetes air, tetesan air ini berprilaku seperti prisma. Dia menguraikan sinar putih tadi sehingga terciptalah warna-warna pelangi. Setetes air berprilaku seperti prisma ketika menerima seberkas cahaya putih. Cahaya tersebut sebagian dipantulkan ke arah pengamat, sebagian lagi diteruskan. Warna dalam pelangi seperti blok-blok yang lebar dikarenakan kita hanya melihat satu warna untuk satu tetesan air. Cahaya matahari yang diuraikan oleh tetesan air A hanya sampai ke mata kita pada panjang gelombang warna merah. Sementara itu, tetesan air B memberikan panjang gelombang warna ungu. Tetesan-tetesan air di antaranya memberikan masing-masing satu panjang gelombang pada mata kita. Sehingga pada akhirnya si pengamat melihat pelangi dengan warna yang lengkap.
Kita hanya bisa melihat pelangi maksimal setengah lingkaran. Untuk melihat pelangi utuh satu lingkaran, maka kita harus berdiri di tempat yang lebih tinggi.
Ilustrasi pada gambar diatas memperlihatkan bahwa pelangi berbentuk lingkaran. Ini adalah benar bahwa pelangi berbentuk lingkaran, bukan parabola seperti anggapan beberapa orang. Di tanah, kita hanya melihat maksimal pelangi setengah lingkaran. Kalau kita berdiri di atas hujan, misalnya di pesawat terbang, maka kita bisa melihat pelangi satu lingkaran utuh. Ini semua disebabkan oleh geometri optik dalam proses penguraian warna. Dengan geometri optik ini juga kita bisa menjelaskan garis lurus yang melewati mata kita dan matahari juga melewati titik pusat lingkaran pelangi. Karena pelangi tercipta melibatkan jarak pengamat dengan tetesan air, maka pelangi selalu bergerak mengikuti pergerakan pengamat. Ini membuat jarak kita dengan pelangi konstan (sama), dengan kata lain kita tidak pernah bisa mendekati pelangi.
Sumber dari : Denipratama
Langganan:
Postingan (Atom)